Adanya aturan baru yang mengatur uang elektronik mengundang diskusi hangat tentang industri ini. Liputan Bolasalju seri pertama ini membahas masa depan uang elektronik, aturan BI, dan pro-kontranya.

Uang Elektronik adalah Masa Depan Transaksi Keuangan

Uang elektronik (uang-e) adalah sebuah layanan yang membuat orang bisa melakukan pembayaran baik secara kredit atau tunai yang bisa digunakan untuk membeli barang dan jasa secara elektronik.

Ragam uang elektronik sebenarnya banyak:

  • Uang elektronik melalui mekanisme kartu
  • Uang elektronik melalui mekanisme telepon seluler
  • Uang elektronik melalui mekanisme alat lainnya seperti scan kode, bisa di sisi penjual atau pembeli, atau melalui perangkat lainnya
Inti dari seluruh model uang elektronik adalah bisa digunakan untuk membayar pihak lain, baik jasa atau produk. Banyak bank sudah menerbitkan uang elektronik model kartu. Beberapa perusahaan seluler membuat uang elektronik melalui identitas nomor seluler. Perusahaan global seperti Apple dan Samsung telah membuat skema uang elektronik yang memungkinkan pelanggan mereka membayar di loket ataupun di situs.

Uang-e adalah masa depan transaksi keuangan di masa depan. Dengan uang-e, kita tak perlu repot membawa banyak uang kertas atau koin. Jika adopsi meningkat, pemerintah bisa menekan biaya penerbitan uang fisik, hal ini saja bisa menekan inflasi. Dengan uang-e, transaksi akan semakin transparan, dan tentu saja ini saja membuat akuntabilitas publik makin mudah diatur. Pajak semakin mudah dihitung. Korupsi bisa dikurangi. Transaksi makin ringkas, cepat, mudah. Uang-e adalah masa depan.

Waktu aturan ini terbit mungkin sudah terlalu lambat dibanding perkembangan uang elektronik. Namun aturan ini patut diapresiasi. Kita akan bahas bagaimana aturan itu.

Aturan Tentang Uang Elektronik

Aturan seputar uang elektronik (e-money) telah diteken oleh Bank Indonesia (BI). Beleid bernomor 19/10/PADG/2017 yang diteken gubernur BI pada Rabu (20/9) itu mengatur Gerbang Pembayaran Nasional/Nasional Payment Gateway (GPN). Di antaranya mengatur skema biaya transaksi pengisian ulang (top up) uang elektronik atau e-money. Beberapa yang diatur adalah batasan pengenaan biaya isi ulang, besar biaya isi ulang, dan juga aturan terkait isi ulang di dalam jaringan atau luar jaringan nasabah.

Berikut adalah ringkasan aturan top-up tersebut:

  1. Top up on us untuk nilai sampai dengan Rp 200.000 tidak dikenai biaya alias gratis
  2. Sementara Top up on us untuk nilai di atas Rp 200.000 dapat dikenai biaya maksimal Rp 750
  3. Sedangkan top up off us dapat dikenai biaya maksimal sebesar Rp 1.500.
Top up on us adalah skema pengisian ulang uang elektronik yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu. Sedangkan top up off us merupakan skema pengisian ulang uang elektronik yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu yang berbeda/mitra. Kebijakan ini akan berlaku 1 bulan atau mulai 20 Oktober 2017.

Menurut pejabat Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman, dengan rata-rata nilai top up dari 96 persen pengguna uang elektronik di Indonesia yang tidak lebih dari Rp 200.000, kebijakan skema harga top up diharapkan tidak akan memberatkan masyarakat. (Sumber: Beritasatu)

Dokumen aturan itu juga mengatur detil pelaksanaan uang elektronik, aturan penyelenggaranya, dan batasannya. Misalnya, diatur tentang Services (jasa), Lembaga Switching (pemroses), dan Lembaga Acquirer (pengakuisisi). Detil aturan melingkupi juga detail aturan pendirian Lembaga Service dan Switching, hingga aturan sahamnya. Misalnya, Lembaga Service sahamnya dimilikir bersama oleh peserta Lembaga Switching.

Pro Kontra Biaya Isi Ulang Uang Elektronik

Aturan biaya isi ulang uang elektronik langsung mengundang pro kontra. Di sisi perbankan mengatakan pemasukan dari biaya akan menunjang investasi infrastruktur. Di sisi kontra, mereka membela hak pelanggan karena sebenarnya biaya investasi uang elektronik sudah dibayar oleh pelanggan ketika membeli kartu. Biaya lain yang terjadi sesungguhnya bisa dialihkan ke pihak lain, misal rekanan bisnis dari penyedia jasa uang elektronik melalui skema business-to-business.

Kedua kubu mempunyai alasan yang menarik dan masuk akal. Namun keduanya punya kelemahan.

Di sisi bank, apa benar biaya potensi biaya isi ulang memang dibutuhkan? Bukankah ada skema potensi pendapatan lain yang juga bisa dikejar?

Dari sisi pelanggan, saya bisa analogikan uang elektronik seperti dompet kulit karya perajin Indonesia seharga Rp300.000. Daya tahan dompet semacam itu mungkin bisa bertahan hingga 10 tahun. Sama dengan uang elektronik, dompet berguna untuk membantu seseorang transaksi. Dengan asumsi 10 tahun usia pakai dompet (bisa jadi kurang dari itu), konsumen membayar biaya dompet Rp30 ribu per tahun, atau sekitar 20 kali isi ulang uang elektronik.

Menurut hemat saya, usulan biaya isi ulang uang elektronik masih terjangkau. Bandingkan dengan potongan biaya Rp250 hingga Rp500 yang diambil oleh bank pelat merah untuk transaksi e-banking transfer. Jika sebulan 6 kali transaksi maka biayanya setara dengan biaya isi ulang uang elektronik. Kita akan bahas lagi potensi pendapatan isi ulang ini di bawah untuk melihat dari sisi bank atau penyedianya. Namun, yang ditakutkan oleh pihak kontra juga masuk akal. Jangan sampai tambahan biaya ini justru membebani pelanggan dan menghambat upaya digitalisasi transaksi keuangan elektronik. Padahal masa depan transaksi keuangan elektronik justru lebih menarik dibanding hambatannya. Saya kira besarnya penaripan biaya ini tidak seberapa potensinya dibanding sisi negatif publikasi atau penghambat potensi industri uang elektronik di tanah air. Pihak bank seyogyanya justru berkampanye untuk lebih menyebarluaskan arah uang elektronik.

Ada yang melihat ketakutan industri perbank karena uang elektronik bisa melibas keterlibatan mereka dalam transaksi keuangan. Ada benarnya. Apalagi jika aturan mengijinkan pemain non-bank bisa masuk ke industri ini. Maka selayaknya industri perbankan secepatnya masuk dan mengadopsi aturan ini secara cepat dan bersahabat dengan peluang transaksi keuangan elektronik yang tak bisa dipungkiri pasti hadir, entah mereka mau ikut atau tidak.

 

Bersambung ke seri ke-2, Uang Elektronik (2): Model Bisnis, Dana Mengapung, dan Pangsa Pasarnya

Catatan: Mulai penerbitan ini kami ingin meningkatkan layanan kepada pelanggan atau member dengan menerbitkan artikel dan liputan bermutu yang terproteksi. Saya tidak bisa janji frekuensi penerbitannya. Namun akan saya usahakan terbit liputan, artikel, dan riset yang bermanfaat dan bisa menunjang keputusan investasi pembaca. Saya akan selalu memutakhirkan artikel ini untuk mengkoreksi ejaan dan data, jika diperlukan.

Artikel saya pecah menjadi beberapa bagian karena saya rasa juga terlalu panjang jika diterbitkan dalam satu tulisan.

Saya mengharapkan kritik, saran, dan pendapat dari pelanggan/member, tentang artikel ini atau bila ada ide topik yang ingin dibahas, silakan kirim pesan lewat email ke info@bolasalju.com atau melalui laman kontak. Terima kasih.


Diterbitkan: 4 Oct 2017Diperbarui: 18 Feb 2022