Sejak awal saya tak pernah ingin jadi trader atau spekulator saham. Sejak awal saya ingin menjadi investor. Kenapa begitu? Mungkin agak panjang latar belakangnya. Dalam tulisan ini saya ingin mengurai satu per satu. Ternyata pergulatannya panjang dan mungkin menarik. Semoga hal ini bermanfaat buat para pembaca.

Tulisan ini sangat panjang, tapi inilah pokok pikiran kenapa saya tidak pernah ingin jadi trader saham dan memilih jadi investor. Saya ingin berbagi pikiran saya karena saya rasa perasaan-perasaan yang saya ungkap di bawah adalah hal umum yang dipikirkan orang awam yang ingin masuk investasi saham. Orang awam kadang susah memahami logika yang ditebar media dan para aktivis pasar modal karena kenyataannya logika tersebut tidak masuk akal. Coba kalau logika investasi ala Buffett yang dijelaskan, tentu lebih mudah dipahami. Dan akhirnya pikiran-pikiran tersebut membawa kesadaran bahwa menjadi investor adalah pilihan yang masuk akal.

Tapi saya kira hal ini bisa dipersingkat menjadi beberapa alasan berikut:

  • Saya tertarik dengan instrumen saham sejak 1999 (?) ketika beli buku saham pertama, judulnya "Kiat Bermain Saham" karya Surono Subekti (terbitan Gramedia). Dari baca ulang beberapa hari terakhir, menurut saya buku tersebut bagus, ada kiat memilih instrumen secara fundamental, mengajak ke arah konservatif, mengajak berkumpul dalam klub saham agar lebih terjaga mentalitas kita, dst... tetapi menurut saya buku itu masih menyisakan sedikit teka-teki karena ketidaktegasan antara menjadi investor atau spekulan. Ada unsur-unsur dalam buku tersebut, seperti membagi dua rekening: rekening pertama untuk investasi dan rekening kedua untuk trading. Hal itulah yang dulu menjadi keraguan saya untuk investasi saham. Selain itu, lihat judulnya ada kata "bermain", ini juga hal yang tidak saya suka dan pasti membuat saya ragu. Uang kok dipermainkan? Alasan lainnya adalah modal investasi saham pada jaman dulu jauh lebih mahal daripada sekarang.
  • Saya tidak pernah menangkap alasan rasional, logis, dan runut tentang kenapa kita harus investasi saham di pasar modal. Kesan yang saya tangkap saat itu hingga 2008 adalah instrumen saham banyak unsur peruntungan, tebakan, ramalan, atau permainan seperti judi.
  • Berbagai pemberitaan media, ulasan pasar, kilas pasar, market watch, panduan saham, edukasi pasar... materi yang saya dapatkan sejak 1999 hingga 2008 tidak jelas berkata apa sesungguhnya investasi saham dan kenapa kita bisa beruntung selain sebagai permainan peruntungan belaka. Contoh pemberitaan tersebut seperti ini:
    • "Pasar rontok karena asing keluar dari pasar modal," Orang awam seperti saya pasti menebak-nebak, bagaimana bisa terjadi?
    • "Asing masuk maka pasar modal naik," Nah....Lalu bagaimana saya bisa untung kalau hanya ikut serta peran asing saja?
    • "Saham X menguji supportnya. Bila turun silakan jual," ini lagi. Saya tak mengerti siapa yang menguji? Siapa penentu angka support itu? Berkali-kali saya coba baca panduan ramalan saham yang namanya teknikal itu tapi tetap saya tak paham esensinya. Kenapa ramalan bisa berubah dalam hitungan hari?
    • "Saham X sedang dalam fase naik, silakan beli," judul seperti ini juga membuat  saya bertanya-tanya, kalau semua akan naik, lalu kita beli, pasti semua pembaca berita akan beli. Pasti harga sudah naik. Lalu kapan saya untungnya?
    • "Trader Anu mendapat untung 1 miliar dari saham," tanpa ada penjelasan metode atau saham apa.
    • "Trader X berhasil karena shorting," pikiran saya, menjual lalu saham jatuh saja bisa untung. Kenapa harus begitu cara untungnya?
  • Pemberitaan, edukasi, dan bacaan yang tak pernah masuk akal seperti di atas tak pernah membuat saya tertarik saham. Karena semuanya susah dimengerti! Tapi saya masih memendam keinginan untuk selalu  belajar.
  • Pada 2007-an saya sadar instrumen saham memang menguntungkan. Tapi masih ada teka-teki dalam pikiran saya tentang bagaimana cara untung yang baik, yang terjaga, aman, hati tetap tenang dan tidak seperti pikiran penjudi. Itu semua mengantarkan saya untuk berinvestasi secara pasif di saham melalui reksadana saham.
Beberapa hal yang mudah saya mengerti tentang saham:
  • Saham menurut pemahaman umum adalah andil dalam pendirian perusahaan. Ada tiga orang, si A, si B, dan si C. Mereka mengumpulkan modal masing-masing 10 lembar saham untuk modal 10 juta rupiah. Total modal terkumpul Rp30 juta. Ini contoh yang jelas dan gamblang.
  • Mereka mendirikan usaha, lalu usahanya untung. Aset atau modal yang awal Rp30 juta sekarang menjadi Rp100 juta. Untung mereka bisa dibagikan buat para pemodal, sebagai bagi hasil usaha. Atau, bila mereka sepakat, mereka bisa menahannya untuk mengembangkan usaha. Contoh ini juga mudah dimengerti bukan?
  • Katakan mereka tidak memutuskan membagi dividen. Lalu tiba-tiba si C butuh uang untuk usaha keluarganya. Si A dan B tak bisa menahannya. Akhirnya saham si C yang nilainya sepertiga perusahaan itu dilego, katakanlah ada si D dan E yang ingin bergabung karena melihat usaha itu prospektif. Aset perusahaan sudah tumbuh menjadi Rp100 juta, kira-kira nilai 10 lembar saham si C adalah Rp33,33 juta (dari modal awal Rp10 juta). Potensi pertumbuhan perusahaan adalah 200% dalam lima tahun. Katakanlah ini proyeksi konservatif dengan memperhitungkan persaingan dan perubahan industri.
  • Dari pertimbangan di atas si D menawar saham yang dijual si C seharga Rp50 juta. Pertimbangannya dia adalah:
    • Bila perusahaan tumbuh 200% dalam 5 tahun, maka aset Rp100 juta akan tumbuh menjadi Rp300 juta.
    • Bila harapan aset tumbuh Rp300 juta dalam lima tahun, maka nilai investasi tiap investor (sepertiga) di akhir masa tahun ke lima adalah adalah Rp100 juta.
    • Dengan asumsi ingin untung 100% dari investasinya, maka ia harus membayar sekitar Rp50 juta (dari harapan tumbuh menjadi Rp100 juta, perhitungannya = 100/ [100%+100%] = 100 / 200% ) untuk seluruh saham si D, atau Rp5 juta per lembar saham.
  • Sementara itu si E karena orangnya cukup optimis, ia menganggap perusahaan bisa  untung lebih banyak, pertimbangannya dia adalah:
    • Si E optimis perusahaan bisa tumbuh hingga 300%, apalagi bila ia membantu pemasaran produk, di mana ia punya jaringan dari usahanya saat ini. Tapi katakanlah ia percaya pertumbuhan 200% itu cukup konservatif, maka ia tak ingin mengambil keuntungan terlalu banyak.
    • Katakanlah si E berani ambil untung 50% saja dari investasinya, maka dari ekspektasi pertumbuhan aset senilai Rp100 juta pada akhir tahun ke-5 itu, setelah dihitung = 100 / [100% + 50%] = 100 / 150% ) maka si E berani membayar Rp66,67 juta.
  • Setelah mempertimbangkan keduanya tentu saja saham si C akhirnya dijual ke si E yang optimis. Dengan logika alih modal dan negosiasi saham seperti ini tentu kita semua paham dengan mudah bukan?
Kemudian saya belajar dari Ben Graham yang mengajarkan pengertian serupa dengan analogi di atas melalui The Intelligent Investor. Sejak 2008 itu saya tak ingin menjadi trader.  Saya hanya ingin menjadi investor. Alasannya karena logikanya jauh lebih mudah dipahami bagi orang bodoh seperti saya. Hal yang menyenangkan lainnya, ternyata praktik investor penganut ajaran Graham terbukti terukur, Warren Buffett telah mengejawantahkannya di buku The Intelligent Investor dalam esai The Superinvestors of Graham-and-Doddsville, bahwa kinerja lima orang penganut Graham terbukti terukur. Padahal kinerja tersebut adalah rekaman tahun 1982. Buffett hingga saat ini pun terlihat masih baik-baik saja. Saya baru berani masuk saham pada 2010 seperti bisa dibaca di blog ini.

Bedanya pasar saham dengan negosisasi alih modal seperti ilustrasi di atas adalah bila alih modal terjadi karena situasi khusus, seperti si C yang perlu uang untuk usaha keluarga. Di pasar modal negosiasi pengalihan modal terjadi setiap hari selama 5 jam setiap pasar saham buka. Setiap hari!

Maka kalau dipersingkat, ajaran investor saham yang pahami adalah:

  • Pasar selalu tak rasional. Kadang terlalu optimis, kadang pesimis. Seperti si D dan si E dalam menawar. Kadang ada yang menawarkan perusahaan dengan harga murah. Kadang ada yang menawarkan terlalu mahal.
  • Bedanya, bila dalam negosiasi alih modal terjadi dalam situasi khusus, di pasar saham terjadi setiap hari selama pasar modal buka. Pasti ada kesempatan mendapat modal di perusahaan incaran.
  • Tugas kita sebagai investor adalah mencari perusahaan yang ditawarkan murah oleh pasar.
  • Harapannya, nanti ketika pasar sudah tahu tentang perusahaan, akan banyak orang terlalu optimis sehingga mereka membeli modal kita dengan harga yang tinggi.
  • Hanya sesederhana itu.
Lalu ada yang bertanya:
  • Kalau sudah beli saham pilihan tapi harga turun terus bagaimana? Kembali ke hal pokok, apakah perusahaannya bagus?
  • Kalau saya sudah yakin bagus tapi kok masih ragu dan harga masih turun, maka kembali ke hal pokok lagi, apakah Anda sudah benar meneliti perusahaan tersebut bagus?
  • Bila harga saham tidak naik-naik, apakah ini pilihan benar? Jawabannya, kembali ke hal pokok, benarkah riset Anda? Apakah ini perusahaan yang bagus?
  • Kalau ada yang bertanya, kapan untungnya kalau tak pernah transaksi? Jawabannya, kalau perusahaan bagus dan tidak pernah rugi dan terus tumbuh, pasti untung.
  • Kalau ada yang berargumen: enak mana untung 5% sebulan atau untung 30% per tahun? Jawabannya, tergantung, untungnya terjaga atau kadang-kadang.
  • Apakah jadi investor teruji? Iya, Buffett sudah menulis esai di atas, bacalah dan lihat rekam jejak lima investor lainnya. Sejak 1982 hingga sekarang kekayaan Buffett masih tumbuh terus, begitu juga kinerja kawan-kawannya. Rekam jejaknya jelas dan bisa dipelajari. Coba cari rekam jejak trader (yang murni trader)? Ada. Saya hanya pernah (sekali!) menjumpai rekam jejak para trader di buku berjudul Trends Commandments karya Michael Covel, tapi angka persentasenya jauh lebih kecil dibanding kinerja para investor.
  • Banyak trader stres. Investor sih tenang-tenang saja kalau pasar naik atau turun. Pilih mana?
  • Kenapa stres, kok seperti penjudi kalah? Kenyataannya di dunia pasar modal banyak yang seperti penjudi. Kalau untung banyak akan diceritakan. Kalau rugi tak pernah dibuka. Investor seperti Buffett kinerjanya selalu terukur dan bisa dilihat publikasinya. Mungkin investor tak pernah untung besar, tapi perlahan dan tumbuh terus. Selain itu para trader umumnya pengelola dana tertutup yang tidak bisa kita pelajari kinerjanya.
  • Kalau ada yang berargumen: uang saya kecil, belum berani jadi investor. Jawabannya, Anda tak akan pernah jadi investor kalau tidak pernah memilih jadi investor. Uang besar atau kecil sama saja. Yang penting persentase keuntungan Anda tumbuh terus setiap tahun.
  • Saya ragu terus untuk menjadi investor dan ingin mendapatkan keuntungan harian/mingguan biar pun sedikit, agar bisa buat makan. Jawabannya, Anda tak akan pernah jadi investor.
Saya tidak mengatakan bahwa saya sudah menjadi investor yang baik, yang benar, apalagi investor sukses. Tapi saya terus ingin jadi investor. Sejak awal saya ingin jadi investor. Jadi, selamat menjadi investor!


Diterbitkan: 10 Jul 2012Diperbarui: 9 Feb 2022