Sebuah saham ditawarkan di harga Rp100 dengan lot cukup banyak. Karena berniat membeli saham itu, Anda kirim instruksi beli di harga pas Rp100. Seketika perintah kirim lepas ke alam maya, tiba-tiba semua lot saham yang ditawarkan hilang. Ajaib. Sekarang Anda malah di posisi beli, dengan harga tertinggi. Bagaimana masa depan pasar saham jika kejadiannya selalu seperti ini? Inilah resensi buku Flash Boys.

Judul: Flash Boys Penulis: Michael Lewis Penerbit: Penguin Books Ltd Tebal: 320 halaman

Buku tersedia di BookDepository seharga sekitar Rp150.000 (bebas ongkos kirim ke Indonesia) atau di Amazon.

Michael Lewis memang piawai bercerita. Intrik perdagangan saham frekuensi tinggi (high frequency trading, atau HFT) yang rumit bisa diceritakannya ke publik dengan mudah. Padahal HFT penuh dengan detil teknis yang tak bakal bisa dipahami oleh orang awam dalam satu kali obrolan minum kopi.

HFT diceritakan oleh Lewis adalah sebagai cara orang serakah mengeksploitasi selisih waktu yang tercipta dari jarak pasar saham dengan pembeli/penjual lain untuk keuntungan pencipta HFT. Lewis bisa menceritakan semua hal itu dalam Flash Boys sehingga bisa kita pahami dalam satu kali duduk baca. (Saya membacanya dalam beberapa hari)


Sekarang bayangkan kisah order yang mungkin Anda alami seperti di atas. Ketika mau beli di harga Rp100, tiba-tiba Anda jadi bidder di harga tertinggi. Penjual sudah bergeser di harga satu poin di atasnya. Anda coba bid langsung, harga bergeser lagi. Anda mencoba menurunkan harga, tiba-tiba penawaran muncul. Sampai kemudian Anda capek lalu bid di harga dua poin di atas harga awal tadi.

Kondisi serupa juga bisa terjadi di posisi jual. Ketika mau jual langsung tiba-tiba bidder hilang. Anda dipaksa menurunkan harga jual Anda beberapa kali agar saham bisa terjual.

Jadi pelaku kecurangan ini mencoba cari perbedaan harga beberapa poin dari posisi harga beli dan jual saham di pasar? Ya. Sekarang bayangkan beberapa poin selisih itu terjadi dalam jutaan hingga milyaran transaksi yang mungkin dilakukan. Jika mereka bisa ambil untung spread $0,1-$0,5 dari setiap transaksi beli dan jual. Bayangkan jika terjadi milyaran transaksi yang mereka tangani. Sudah jutaan dolar bisa diambil dari pasar.

Maka tak heran jika kita baca di Flash Boys pelaku industri yang mengincar kecepatan transaksi ini sampai rela menggelar kabel jaringan tercepat antara dua bursa saham terkenal di Amerika demi menciptakan jalur komunikasi yang lebih cepat sepersekian detik dibanding data komunikasi yang dinikmati pelaku pasar lainnya. Dengan data lebih cepat, mereka bisa mendapatkan sumber harga sepersekian detik lebih cepat dibanding pelaku pasar lainnya. Jadi ketika instruksi beli Rp100 Anda telah datang, mereka yang memasang perintah jual sudah mengetahuinya lebih dulu, lalu memerintahkan order jual yang ditangani klien sindikasi mereka dicabut.


Flash Boys bercerita tentang pelaku industri HFT ini. Ada cerita programmer jagoan asal Uni Soviet bernama Sergey Aleynikov, yang sebelumnya menjadi engineer HFT untuk Goldman Sachs. Sergey bahkan diburu oleh Goldman dengan melibatkan FBI dengan tuduhan mencuri kode HFT ciptaannya. Tokoh lain yang menjadi pusat cerita adalah Bradley Katsuyama, pendiri Investors' Exchange (IEX), sebuah bursa alternatif untuk melakukan perdagangan dengan tujuan mengurangi HFT.

Menurut kutipan di Wikipedia, “Buku ini mengundang kritik dari akademisi dan pakar industri, khusus pandangan Lewis tentang HFT dan menurut klaim mereka fakta-fakta tidak aktual tentangnya. Kritik lain memuji penjelasan Lewis tentang konsep perdagangan dan sepakat dengan kritiknya akan HFT. Bahkan ada eksekutif di industri ini yang bilang buku Lewis mendekati fiksi.”

Fiksi atau tidak fiksi, perdagangan saham saat ini sudah sangat terkoneksi. Mereka yang tercepat akan mengeksekusi lebih dulu. Apalagi jika kita lihat sistem perdagangan daring (dalam jaringan). Beberapa sistem perdagangan saham di Indonesia sudah bisa memfasilitas perdagangan terprogram dan terkondisi. Katakanlah seorang investor ingin membeli saham hanya bila harganya di bawah Rp90. Ia bisa memberi instruksi di program untuk membeli sejumlah lot kecil (mungkin 100 lot) di harga Rp90, jika ada yang menawarkannya. Di sisi lain, ia bisa memberi instruksi jual bila harga saham mencapai Rp105. Tanpa aktif di bursa ia sudah bisa untung dari selisih harga Rp15.

Bayangkan jika sistem ini diciptakan sebuah kumpulan perdagangan beberapa broker yang menginduk ke broker besar pencipta sistem HFT. Broker besar tentu menjual jasa HFT ke broker-broker kecil. Imbalannya, mereka bisa berdagang di kumpulan broker, mereka bisa menghemat komisi jika perdagangan terjadi di kumpulan, lalu mereka bisa mendapatkan lisensi sistem perdagangan canggih itu tanpa perlu membayar programmer sendiri-sendiri.

Begitulah kira-kira HFT bisa terjadi.

Ada yang bilang HFT memberi efisiensi di pasar. Ada yang meragukan akurasi Michael Lewis. Tapi penulis tak ragu dengan sejarah keserakahan pelaku pasar modal dari era 80-an hingga 2000-an. Semua itu mungkin terjadi. Bayangkanlah berapa milyar rupiah atau jutaan dolar yang harus disetor pelaku pasar tradisional sementar pelaku industri HFT bisa meraup keuntungan dari ketidaktahuan mereka. Jika bursa tidak diregulasi hal ini juga bisa terjadi lagi di mana saja, termasuk di Indonesia.


Penulis punya pengalaman di sebuah broker, yang kejadiannya mirip dengan kondisi di atas. Hal itu terjadi beberapa hari setelah membaca buku Flash Boys ini. Penulis berpikir apa pasar saham Indonesia sudah terkena wabah HFT?

Di masa depan bisa jadi ada bursa-bursa baru selain BEJ. Dulu pernah ada BES. Siapa tahu setelah jumlah investor tumbuh, ada pelaku swasta yang juga diperbolehkan mendirikan bursa baru. Semuanya adalah pasar. Tak ada yang bisa melarang pusat perdagangan berdiri, kan? Pada saat itulah investor awam bisa terpapar risiko perdagangan curang dari eksploitasi pelaku HFT semacam ini.

Dengan mengetahuinya lebih dulu dari Flash Boys, pelaku pasar tradisional lainnya bisa paham risiko dan apa yang terjadi di pasar modal. Mungkin Anda tak tahu apa yang terjadi setelah Anda menekan tombol “buy” atau “sell” di pasar modal.


Diterbitkan: 29 Oct 2017Diperbarui: 9 Feb 2022