Pada hari ini 11 Juli 2012, warga Jakarta merayakan hajat demokrasi, yaitu menyalurkan suaranya untuk memilih pemimpin mereka selama lima tahun yang akan datang.

Bagi investor, politik mau tak mau akhirnya berkaitan dengan perkembangan ekonomi—yang akhirnya bersinggungan dengan investasi. Ketika suatu negara dikelola oleh birokrasi (sebuah manajemen) yang dapat dipercaya, sama seperti sebuah bisnis, akhirnya negara tersebut juga akan mampu mengembangkan ekuitasnya. Ekuitas negara itu apa? Tentu saja ekonominya, juga sumber dayanya, baik alam, juga nilai indeks manusianya, dan seterusnya. Ketika entitas negara bagus, diyakini kondisi bisnis juga bagus. Kemanusiaan dan kesejahteraan tumbuh.

Maka, nikmatilah hajat politik, apalagi bila hajatan ini menyediakan pilihan menarik seperti yang terjadi di Pemilu Kepala Daerah di DKI saat ini.

Kewajiban kita sebagai warga negara yang paling pokok adalah mematuhi peraturan dan membayar pajak. Kita tak ada kewajiban mencoblos karena itu adalah hak kita. Tapi hajatan politik seperti Pilkada atau Pemilu harus kita perhatikan sebagai anggota masyarakat karena inilah satu-satunya kesempatan kita untung ikut mengubah. Ubahlah kalau Anda ingin Jakarta berubah.

Namun saya tak ingin panjang lebar bicara tentang politik karena itu bukan keahlian saya. Memang ada suatu saat ketika investasi mau tak mau harus berurusan dengan politik. Hal ini pernah dibahas Jeffrey Towson dalam What Would Graham do Now? ketika membahas investasi Pangeran Alwaleed di berbagai belahan dunia. Investasi sang Pangeran mau tak mau akhirnya bersinggungan dengan politik. Bahkan di suatu negara seperti Cina, ketika entitas politik justru mampu melindungi bisnis dengan lebih baik. Tapi keadaan seperti ini—kalau menurut saya—mirip Indonesia era Orde Baru, ketika orde tersebut tumbang akhirnya jaringannya tunggang langgang. Kondisi persinggungan bisnis dan politik seperti ini hampir susah dijumpai di belahan negara maju yang banyak memisahkan peran swasta dan negara, meski bisa pula ditelaah ada persinggungan dengan keadaan lebih lepas. Jadi kasusnya unik negara per negara.

Di Indonesia, bila kita cermat, ada beberapa bisnis yang erat kaitannya dengan politik. Apakah bisnisnya dikelola oleh negara seperti beberapa perusahaan BUMN (BBRI, PTBA, BMRI, JSMR, dll), bisnis yang pelanggannya sebagian besar pemerintah (JTPE? ADHI? dll), atau bisnis yang justru besar atau kempis karena suatu kroni. Dalam berinvestasi akhirnya mau tak mau kita bersinggungan dengan hal seperti itu.

Saya punya prinsip bahwa dalam berinvestasi saya akan berusaha menjauhi bisnis yang terikat terlalu lekat dengan politik. Tapi kalau ada bisnis yang dikelola pemerintah asal manajemen tidak terlalu terikat dengan politik, mungkin masih saya pertimbangkan. Bagi saya, bisnis yang jauh dari politik, jauh dari jaringan birokrasi, rezim, atau oligarki tertentu adalah bisnis yang tepat, apalagi bila mereka telah membuktikan bisa mempertahankan pertumbuhan dan efisiensi dengan baik. Sebaiknya bisnis yang tergantung dengan politik adalah seperti benalu, sekali pohon itu mati benalu tersebut tak akan bisa berkembang lagi. Bisnis yang baik adalah seperti jamur, bisa berkembang karena sporanya bisa hingga dan memanfaatkan lahan baru dengan cermat.

Kembali ke politik, ada fenomena menarik dalam Pilkada DKI Jakarta kali ini yang bisa mengubah perpolitikan Indonesia beberapa tahun mendatang, apalagi bila kandidat dari Jawa Tengah itu bisa lolos jadi memimpin ibukota. Lebih-lebih bila ia mampu membuktikan dirinya bisa menjadi manajer yang baik di kawah Candradimuka perpolitikan Indonesia di wilayah bernama Jakarta. Bila keadaanya demikian lalu partainya ikhlas mencalonkannya jadi RI-1 dan bukan hanya wakil, pasti pergulatan perpolitikan kita akan sangat menarik. Investor tentu akan optimis bagi masa depan Indonesia—dan tentu masa depan investasinya pula. Selamat berpartisipasi dalam hajatan politik ini. Ingat, ini investasi masa depan Indonesia!


Diterbitkan: 11 Jul 2012Diperbarui: 9 Feb 2022