Ketika investor melangkah lebih jauh dalam analisis fundamental perusahaan, saat itulah sebuah angka akan makin menarik ditelaah: arus kas. Rasio harga terhadap laba (P/E ratio) kadang memang tidak ideal. Ada kondisi investor harus melihat arus kas agar pandangannya akan perusahaan lebih jernih. Inilah pentingnya mempelajari rasio harga terhadap arus kas.

Karena sifat bahasan lanjutan, kamu harus sudah paham laporan keuangan agar bisa mengikuti artikel ini. Jika belum mengerti, silakan pelajari seri edukasi laporan keuangan: Seri ke-1: Kenapa Harus Mempelajarinya?, Seri ke-2: Empat Macam Laporan Keuangan, dan Seri ke-3: Bagaimana Terbentuknya Laporan Keuangan yang pernah terbit di Bolasalju.

Setelah mengerti konsep laporan keuangan, kamu bisa lanjutkan baca artikel ini.

Laba dan Arus Kas, Apa Bedanya?

Pencatatan angka-angka yang dilaporkan di laporan keuangan perusahaan mengikuti panduan dari akuntansi. Untuk artikel ini kita akan fokus ke dua laporan keuangan: laba/rugi dan arus kas.

Dalam laporan laba/rugi, kamu akan menemukan pos-pos keuangan dengan urutan (lebih kurang) seperti di bawah ini:

  • Penjualan/Pendapatan (biasanya +)
  • Beban pokok penjualan (selalu -)
  • Laba/Rugi kotor (biasanya +)
  • Beban usaha (selalu mengurangi laba kotor)
  • Beban administrasi dan umum (selalu mengurangi laba kotor)
  • Beban-beban lainnya (selalu mengurangi laba kotor)
  • Laba/Rugi sebelum pajak
  • Pos lain-lain....
  • Laba/Rugi Bersih
Setelah paham akuntansi, kamu akan tahu bahwa semua pos dalam laporan laba/rugi bersifat pengakuan (recognized) bukan pembukuan (booked). Ketika staf pemasaran berhasil mendapatkan kontrak penjualan dari pihak lain, saat itu juga pengakuan penjualan bisa dicatatkan. Padahal uang belum ditransfer ke rekening perusahaan. Dari penjualan, setelah dikurangi beban-beban, lalu dikenakan pos pajak, perusahaan akhirnya bisa mengakuinya jadi laba. Laba sudah diakui, arus kas belum terjadi, itulah perbedaan yang nyata.

Baca: Rasio Harga Terhadap Laba (P/E Ratio) atau PER


Tiga Jenis Arus Kas

Dalam kegiatan operasional yang riil, perusahaan belum tentu menerima uang saat pengakuan penjualan terjadi. Jika masuknya kas terjadi pada periode berikutnya, maka jumlah uang senilai kontrak yang disepakati itu baru tertera di sana, sementara pada periode tersebut laporan laba sudah berbeda lagi kondisinya. Inilah perbedaan penting laporan laba/rugi dan laporan arus kas operasional. Setelah pelanggan membayar tagihan untuk pembayaran produk/jasa, uang akan masuk ke rekening perusahaan. Masuknya uang ini akan dicatatan di laporan arus kas dari operasional. Saat perusahaan harus membayar biaya jasa vendor, suplier, dan lain-lain biaya ini akan dicatat di laporan arus kas untuk operasional.

Sementara itu perusahaan juga harus mengeluarkan biaya rutin atau sesuai rencana untuk membeli mesin/peralatan/aset baru, merawat mesin/alat/kendaraan, dan biaya lainnya seperti membeli lisensi software, dan lain-lain. Biaya-biaya ini akan terefleksi dalam laporan arus kas untuk investasi. Biaya-biaya ini (mungkin) tidak berhubungan dengan barang/jasa yang dijual, maka biaya-biaya ini tidak tergambar di laporan laba/rugi.

Di sisi lain, saat kondisi kas perusahaan yang sedang cekak karena belum menerima uang dari pelanggan, perusahaan harus mencari pendanaan baru untuk menutup kebutuhan kasnya. Pendanaan bisa diperoleh melalui utang bank, menerbitkan obligasi, pinjam uang ke pihak lain, atau bahkan menerbitkan saham baru. Masuknya dana ini akan dicatatkan dalam laporan arus kas dari pendanaan. Jika perusahaan membayar utang maka dana akan dilaporkan sebagai laporan arus kas untuk pendanaan.

Arus Kas Bebas (Free Cash Flow)

Manfaat lain melihat laporan arus kas untuk menilai "kesehatan" perusahaan dari arus kas bebasnya.

Baca: Memahami Arus Kas Bebas (Free Cash Flow)


Saat perusahaan membukukan laba positif, sementara menurut arus kas bebas terjadi negatif, maka investor harus curiga dengan kualitas pendapatan perusahaan. Hal ini bukan selalu tanda buruk, sih. Investor harus jeli melihat kualitas arus kas bebas selama beberapa periode untuk memahami siklus perusahaan lebih baik. Bisa saja industri atau usaha perusahaan sedang berubah, entah karena ekspansi besar-besaran, siklus ekonomi yang parah, atau sedang transformasi bisnis penting. Namun, pada umumnya, selisih laba/rugi dan arus kas bebas seharusnya tidak banyak. Analisa semacam itu sangat penting.

Dari seluruh keadaan dan kondisi di atas itu investor berusaha melihat ke angka yang lebih riil dan menggambarkan kondisi ekonomi yang terjadi di sebuah perusahaan, salah satu caranya adalah menghitung rasio harga terhadap arus kas.

Cara Menghitung Rasio Harga Terhadap Arus Kas

Rasio harga terhadap arus kas (price to cash flow ratio), kita sebut saja PCF, dihitung dengan membagi arus kas dari operasional perusahaan dengan harga saham terakhir. Tentu saja angka arus kas operasional yang ditemukan dari laporan arus kas harus dibagi dengan jumlah saham beredar untuk mengetahui angka per lembarnya. Hasil pembagian arus kas operasional per lembar dengan harga ini akan berbentuk kelipatan (multiple), seperti dalam rasio P/E. Misalnya: saham ABCD dijual 7,5 kali labanya atau 4x arus kas operasionalnya.

Beberapa investor ingin melihat analisis rasio harga terhadap arus kas dengan melihat angka yang lebih “bersih”, yaitu rasio harga terhadap arus kas bebas. Ada pula investor yang memasukkan analisis “arus kas bebasnya” dengan memasukkan komponen non-kas seperti amortisasi, depresiasi, deplesi, perubahan modal kerja, dan juga belanja modal. Dalam artikel ini kami tak akan membahas analisis ini agar lebih singkat.

Aplikasi Rasio Harga Terhadap Arus Kas untuk Menilai Saham

Menilai rasio harga terhadap arus kas untuk saham di sebuah industri dengan industri lain tentu harus berbeda, baik melalui rasio P/E atau PCF.

Di suatu industri, misal properti, kelipatan rasio harga terhadap arus kas relatif lebih kecil dibanding rasio harga terhadap labanya. Sementara itu di industri manufaktur, rasio PCF bisa mendekati rasio P/E-nya.

Untuk perusahaan yang dikenal dalam aktivitas permodalan yang intensif seperti pertambangan, industri mobil, atau jalan tol, investor akan melihat rasio harga terhadap arus kas (PCF) lebih rendah karena kita tahu perusahaan harus banyak berinvestasi untuk peralatan, tanah, mesin, dan hal lain sebelum perusahaan menghasilkan laba.

Sementara itu ada industri lain seperti bidang jasa yang kebutuhan permodalannya lebih kecil. Dalam industri seperti ini investor akan melihat rasio PCF-nya lebih tinggi.


Diedit oleh: YW

Kredit foto: Christian Dubovan (Unsplash)


Diterbitkan: 28 Sep 2018Diperbarui: 18 Feb 2022