Dua bisnis menghasilkan laba yang sama. Tapi struktur laba mereka berbeda. Keduanya hidup di lingkungan inflasi yang sama. Pertanyaannya, mana bisnis yang lebih unggul?

Kisah Dua Bisnis

Businesses logically are worth far more than net tangible assets when they can be expected to produce earnings on such assets considerably in excess of market rates of return.

Warren Buffett (1983)

Bisnis pertama memproduksi laba Rp2 miliar dengan modal aset berwujud senilai Rp8 miliar. Bisnis kedua bisa menghasilkan laba Rp2 miliar dari aset senilai Rp18 miliar.

Warren Buffett memberi istilah bisnis kedua yang menghasilkan 11,11% laba dari aset berwujudnya itu sebagai “bisnis biasa”. Sebenarnya dia pakai istilah mundane business, tapi kata “biasa” masih mewakili perumpamaan ini.

Seandainya bisnis pertama dijual di harga Rp25 miliar dan bisnis kedua ditawarkan senilai asetnya sebesar Rp18 miliar, investor pilih yang mana?

Setiap hari investor harus menyelesaikan masalah seperti itu: memilih bisnis terbaik dari beberapa peluang yang tersedia. Bisnis pertama dijual 3,12x aset berwujudnya. Bisnis kedua dijual 1x aset berwujudnya.

Pada 1972, Warren Buffett memilih beli bisnis pertama. Bisnis bernama See’s Candies itu dibeli Buffett lewat perusahaan Blue Chip Stamps seharga $25 juta, padahal ia menghasilkan laba $2 juta dari aset berwujud senilai $8 juta. Apa alasan Buffett memilih bisnis ini?

Bisnis di Lingkungan Inflasi

Seiring inflasi, anggap saja kedua bisnis tadi bisa meningkatkan labanya dua kali lipat dari laba mereka sebelumnya. Bisnis pertama sekarang menghasilkan laba Rp4 miliar. Bisnis kedua juga memproduksi laba yang sama.

Tapi ada bedanya.

Baca juga: Inflasi Indonesia 10 tahun

Bisnis pertama memerlukan aset maujud sebesar Rp16 miliar untuk menghasilkan laba sebesar Rp4 miliar. Bisnis kedua sekarang memerlukan aset berwujud senilai Rp36 miiar untuk laba sama Rp4 miliar

Di kondisi terakhir ini pun, menggunakan logika valuasi yang sama, bisnis pertama dihargai sekitar Rp50 miliar. Bisnis kedua sekarang dihargai sekitar Rp36 miliar.

Dalam meningkatkan nilai pertumbuhan karena inflasi, kedua bisnis terpapar kenaikan biaya seperti sudah diceritakan di atas hanya untuk menghasilkan nilai penjualan yang sama besar. Bisnis pertama perlu menambah aset sebesar Rp8 miliar. Bisnis kedua menambah aset Rp18 miliar.

Dua Bisnis di Lingkungan Inflasi
Dua Bisnis di Lingkungan Inflasi

Investor di bisnis pertama akan memperoleh nilai aset sebesar investasinya sebesar Rp25 miliar setelah 6 periode. Investor di bisnis kedua sudah memperoleh asetnya di tahun pertama ia membelinya. Hal yang berbeda terlihat setelah masa 9 tahun. Makin lama investor di bisnis pertama akan makin makmur karena asetnya sudah meningkat jauh lebih besar.

Dalam ilustrasi di atas perbedaan dua bisnis ini disederhanakan dalam Return on Equity (ROE). Dalam melihat bisnis yang bagus ternyata tidak bisa dari ROE saja. Investor harus kritis melihat pendapatan yang diperoleh pemilik dari investasinya (owner’s earnings)—hal ini meliputi perputaran arus kas, termasuk perolehan dividen, biaya investasi, biaya non kas—seperti depresiasi, amortisasi dan deplesi—dan biaya-biaya lainnya yang akan mempengaruhi pendapatan pemilik.

Pemahaman investor akan industri padat modal juga akan berguna. Bisnis kedua dalam contoh di atas mirip dengan kondisi industri yang padat modal. Apa yang terjadi dalam bisnis seperti itu jika diperlukan upaya peningkatan modal secara lebih cepat? Bisnis harus mencari tambahan investasi untuk memproduksi kualitas yang setara dengan bisnis pertama. Tambahan investasi didapat dari mana? Bisa dari utang atau menjual saham baru kepada investor. Bisnis padat modal akan terpapar efek buruk inflasi jauh lebih cepat.

Baca juga: Industri Padat Modal

Aset atau Ekuitas?

Pembaca yang kritis pasti akan memprotes saya, kenapa mencampur adukkan istilah aset dan ekuitas? Saya sengaja melakukan hal itu. Bukannya kedua hal ini berbeda? Aset adalah ekuitas plus liabilitas. Jadi tidak bisa dicampur aduk. 

Asumsi teknis definisi kata seperti itu memang benar. Penggunaan istilah aset bisa dianggap salah.

Kita di sini berdiskusi tentang teks dari 37 tahun lalu. Saya kesulitan mengkonfirmasi angka See’s Candies yang sedang dibicarakan oleh Buffett. Di surat tersebut Buffett menyebutnya sebagai tangible asset assets atau aset berwujud.

Saya merasa menyebut aset berwujud hanya sebagai posisi pos akuntansi aset akan terasa naif. Apalagi topiknya tentang nilai sebuah perusahaan. Buffett pasti lebih condong ke pandangan aset berwujud sebagai nilai murni setelah dikurangi liabilitas. Menganggap aset berwujud hanya sebagai aset yang masih ditanggung oleh liabilitas, maka valuasi akan menjadi sangat agresif. Bayangkan ada perusahaan dengan aset Rp8 miliar, yang dibentuk dari liabilitas Rp7 miliar dan ekuitas Rp1 miliar. Apa mungkin Buffet mengajak kita menilai perusahaan itu senilai Rp8 miliar? Makanya saya cenderung menganggap pandangan ini sebagai ekuitas, atau bisa dianggap “aset” perusahaan minus liabilitas.

Dalam diskusi investasi lanjutan, kita akan sering bertemu dengan pengistilahan yang sudah termodifikasi seperti ini. Saya ingat istilah “owner’s earning” (atau laba pemilik) yang sering dipakai Buffett. Ternyata laba pemilik di sini bukan dalam arti “laba yang diakui pemilik entitas induk”, seperti di pos laba rugi akuntansi. Buffett cenderung menganggap “laba pemilik” ini adalah angka asumsi yang merupakan gabungan dari laba akuntansi (atau hasil arus kas operasi), plus pos non-kas, plus pos pendapatan atau pos positif lainnya yang menunjang kegiatan operasional perusahaan, dikurangi pos-pos yang menguranginya. Pembaca awam tentu akan bingung dengan model kalkulasi seperti ini. Padahal sejatinya tidak demikian. Buffett mengajak pembacanya berpikir ke arah pemilik bisnis. Bukan asumsi manajer keuangan di sebuah perusahaan yang tujuan akhirnya adalah membuat laporan yang angkanya menarik investor publik yang punya cara pandang biasa.

Lingkungan Inflasi

Baiklah, mari kembali ke topik lingkungan inflasi.

Inilah yang dinamakan Buffett sebagai inflationary environment atau lingkungan inflasi. Kita bisa sebut juga alam inflasi.

Bisnis yang unggul di lingkungan inflasi adalah: 1) yang punya kemampuan adaptasi yaitu dapat menaikkan harga jualnya secara mudah tanpa ketakutan kehilangan pasar secara signifikan ataupun volume penjualan; dan, 2) yang dapat mengakomodasi peningkatan nilai penjualan (rupiah) di bisnis yang sering diproduksi dari inflasi daripada pertumbuhan riil dengan tanpa penambahan modal yang signifikan.

Berkshire Hathaway Letters' 1981

Tugas investor adalah menyelesaikan masalah untuk mengidentifikasi bisnis-bisnis yang bisa bertahan di lingkungan inflasi.

Setelah memahami industri padat modal, memahami lingkungan inflasi yang mempengaruhi bisnis, selanjutnya kita akan berusaha masuk ke topik bahasan seputar arus kas, nilai arus kas, dan kemudian owner’s earnings atau pendapatan pemilik sesungguhnya. Makin lama investasi memang makin menantang. Tantangannya, ilmunya, dan manfaatnya serasa tak ada habisnya.

Selamat berpetualang di lingkungan inflasi!


Diterbitkan: 4 Aug 2018Diperbarui: 18 Feb 2022