Pengaruh bias seorang analis bisa membuat pandangannya tidak bermanfaat.
Sudut pandang analisis terpengaruh oleh bias penulisnya. Hasilnya, analisanya tidak bermanfaat. Insightnya tidak membantu.
Seorang analis harus harus bisa membebaskan dirinya dari asumsi dan prejudice apa pun.
Contoh bias analis yang bisa mempengaruhi pandangannya: Seorang analis habis ngobrol dengan teman dan mendapat berbagai cerita buruk tentang situasi ekonomi. Dengan mengabaikan kondisi riil, ada banyak kemungkinan dia akan membuat analisis yang pesimis tentang ekonomi.
Di waktu lain, dia mendapat cerita baik. Maka, biasanya analisisnya cenderung optimis.
Hal ini lumrah dan sering terjadi.
Kecenderungan bias itu juga bisa mempengaruhi saat melihat data dan bahkan pilihan data.
Saat pesimis, maka analisis berusaha mencari data-data yang mendukung sudut pandangnya itu saja.
Saat optimis, analisis hanya berusaha mencari data yang baik-baik saja.
Bias ini bisa terjadi kepada siapa saja. Termasuk saya.
Seorang analis tidak akan bisa menangkap cerita dengan baik jika opininya selalu dipengaruh oleh suara berisik (noise) yang ada di sekitar atau di media sosial.
Contoh bias analisis itu kami rasakan saat membaca sebuah artikel tentang kondisi ekonomi nasional. Penulis menyajikan data inflasi dan indeks manufaktur global yang menunjukkan keduanya turun. Nyatanya, kondisi manufaktur global sangat tidak layak dipakai untuk mengukur ekonomi nasional.
Memang benar ekonomi internasional memang bisa mempengaruhi neraca perdagangan di Indonesia. Tapi menyebarkan pesimisme dari data yang tidak relevan secara langsung tentu tidak layak dilakukan.
Hasil yang berbeda kami temukan saat Tim Riset Bolasalju berusaha melihat ekonomi nasional melalui dua analisis terbaru Fokus Bolasalju berjudul “Sinyal dari Sektor Bank” dan “Sinyal dari Konsumer”. Kami berusaha mengukur dari data-data aktual di Indonesia.
Bias seorang analis akan bisa mengubah pandangannya menjadi tidak bermanfaat.
Diterbitkan: 3 Dec 2024—Diperbarui: 8 Dec 2024