Hampir setiap hari kita menjumpai berita tentang pasar modal di media massa. Porsi beritanya pun lumayan banyak. Media cetak, media elektronik (radio dan televisi), dan juga media digital hampir selalu mempunyai sebuah rubrik khusus yang memfokuskan bisnis dan juga membahas pasar modal.
Bagaimana di media cetak? Biasanya ada satu halaman khusus memuat performa saham harian, misalnya saham-saham top hari itu: dalam nilai, dalam volume penjualan, dan juga dalam peruntungan. Selain harga saham, sebuah koran umum nasional juga sering membahas tingkah polah emiten dalam pasar modal, baik itu prestasi/wanprestasi, rumor, aksi korporasi dan lain-lainnya.
Kalau media televisi lain lagi. Dua stasiun televisi berita nasional yaitu MetroTV dan TVOne mempunyai acara khusus yang membahas pasar modal. Biasanya sang penyiar akan melaporkan berita mutakhir pasar, isu-isu, sering juga gosip, dan juga tampak laporan harga aktual saham (ticker) berseliweran saling berebut untuk mencuri perhatian kita.
Media digital lebih heboh lagi. Tak mau tanggung beritanya langsung ceprot muat seketika. Kalau ada isu aktual, biasanya akan muncul berita satu dua paragraf tentang isu pasar modal termutakhir. Ketika berita sudah matang, barulah muncul rangkuman yang lebih lengkap dan menyeluruh. Hampir seluruh media digital di Indonesia juga punya seksi khusus pasar modal, lengkap pula dengan seluruh grafik dan tabel yang begitu warna-warni meriah.
Seru deh kesannya pasar modal. Tapi apakah pasar modal memang seru, seperti olahraga? Ataukah pasar modal itu seram? Bayangkan, banyak banget angka-angka di satu halaman itu, kecil-kecil pula. Orang awam pasti berpikir orang-orang yang menggeluti dunia saham ini gila, bisa berurusan dengan informasi yang banyak, rumit, dan menyakitkan (kecil) itu?
Bisa jadi analogi seperti olahraga itu mungkin benar. Jadi, sepertinya media massa itu menggambarkan pasar modal adalah olahraga serba cepat. Informasi bergerak kilat. Harga turun-naik. Sang pencundang dapat angka merah. Sang pemenang hijau. Tapi kemudian kita berpikir, “Ah ticker-nya sudah hilang, tadi apa yang sedang naik? Kita harus memelototinya lagi biar kita bisa ikutan naik” Dan sampai sore hari itu tiap orang kebingungan mana yang lebih penting dari seluruh informasi yang hilir mudik itu.
Bagaimana dengan analogi pasar modal itu seram? Mungkin memang seperti itu, paling tidak itu kesan yang saya dapat beberapa tahun yang lalu. Urusan pasar modal sepertinya rumit, butuh keahlian, ijazah keuangan dengan titel dan singkatan aneh, juga harus omong mulai dari masalah pojok pasar induk hingga membahas letusan gunung di salah satu negara Skandinavia karena itu mempengaruhi pasar. Pusing deh kalau tak bisa mengikuti itu semua.
Benarkah seperti itu pasar modal? Apakah pasar modal seperti balapan super cepat? Apakah kalau tidak serba cepat kita akan kalah dalam berinvestasi?
Menurut saya, semua kesan pasar modal tadi, apakah serba cepatnya, apakah seramnya, apakah terkesan spekulatifnya (karena dibuat seakan-akan pertarungan judi), adalah karena ia dibuat seperti itu. Siapa yang membuat? Tentu saja oleh media dan juga oleh konsumen. Kok konsumen? Menurut saya karena konsumen senang dijejali dengan informasi semacam itu, maka pasar media menciptakannya. Kalau tidak menciptakannya mereka dianggap kuno dan tidak keren.
Apa perlunya sih koran umum nasional memuat harga saham harian? Juga informasi top gainer dan top loser? Sepertinya tidak perlu. Informasi tersebut bagi investor baru tidak berguna, karena ia bisa memberi kesan seram buat pasar modal. Informasi tersebut juga tidak diperlukan buat investor serius, karena mereka pasti akan mencari informasi yang lebih akurat, entah dari sistem yang dibuat brokernya atau lewat media riset di internet. Informasi di koran itu basi, karena biasanya informasi sehari yang lalu. Menyajikan informasi penting pasar modal sebagai sebuah inset kecil pendukung berita, mungkin perlu. Tapi sebagai sebuah suplemen khusus yang menghabiskan satu halaman penuh sepertinya sia-sia belaka. Seandainya halaman tersebut dibuat untuk memuat profil emiten harian, kita bisa menampilkan semua profil emiten dalam waktu hanya satu tahun lebih satu bulan sedikit. Berguna bukan? Ini akan memberi edukasi tentang perusahaan di bursa, yang notabene menjadi penyokong ekonomi nasional.
Apa perlunya juga media elektronik dan juga media digital berlomba-lomba menampilkan informasi saham seperti sebuah atraksi balapan mobil ekstra cepat. Tidak ada gunanya. Lagi-lagi, investor serius pasti akan memelototi sistem riset yang mereka percayai alih-alih berita di televisi, yang kita tahu sering terlambat atau justru menampilkan informasi terlalu cepat sehingga tidak bisa terbaca. Tentu saja membuat siaran itu hak stasiun televisi. Tentu saja menampilkan fenomena terbaru di pasar modal itu menarik, misal aksi korporasi perusahaan besar yang bisa mengubah perekonomian nasional. Tapi menampilkan seramnya dunia pasar modal dan mencitrakannya sebagai dunia serba cepat? Ah berlebihan.
Padahal seyogyanya pasar modal hanyalah sebuah pasar. Pasar modal itu mirip pasar lelang. Pasar modal adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang mempunyai secarik kertas berisi hak modal suatu perusahaan, di sana mereka barter menukarkan kupon tersebut demi mendapat hak pada perusahaan yang disukainya. Lalu kalau kemudian proses barter andil perusahaan tersebut bertukar menjadi sebuah proses ramal meramal harga kupon tersebut dan akhirnya menjadi pertaruhan, entah saling bertaruh hingga kadang-kadang terlalu mahal, atau bertaruh karena pesimisme berlebihan dan harganya jatuh. Yang salah tentu saja orang-orang yang menjadikannya seperti itu, media dan juga konsumennya.
Dengan perilaku pasar modal seperti itulah maka tak heran muncul alegori Tuan Pasar yang terkenal itu. Mereka adalah orang-orang panik yang ingin mengajak kita bekerja sama untuk memilik sebuah andil di perusahaan (saham). Tiap hari Tuan Pasar menawarkan kepada kita berbagai saham dengan harga-harga yang membingungkan. Kadang-kadang Tuan Pasar terlalu optimis terhadap saham tertentu maka ia berani membeli pada harga selangit. Kadang-kadang Tuan Pasar putus asa dan berusaha menjual dengan harga serendah-rendahnya.
Siapa yang diuntungkan kalau pasar modal terkesan seperti kesan-kesan tadi? Yang diuntungkan adalah orang-orang yang mendapatkan untung karena kebingungan orang awam. Orang awam tentu akan menyewa orang-orang yang dipercaya ahli yang bisa menangani kerumitan tadi, orang-orang keren dengan titel serba tiga huruf.
Adakah golongan lain yang diuntungkan dari perilaku pasar modal yang tidak tepat? Ada! Mereka adalah golongan investor pintar, seperti pembaca blog ini. Investor pintar ini jarang panik meski sahamnya naik atau turun, mereka mau belajar dan mengabaikan perilaku Tuan Pasar. Mereka bisa mengambil peluang dari mengkoleksi saham-saham bagus untuk dimilikinya dan lalu bisa menjualnya ketika harganya selangit.
Diterbitkan: 25 May 2011—Diperbarui: 9 Feb 2022