Teori atau prinsip investasi yang cerdas dan kompleks tapi tidak logis bisa mengganggu kegiatan investasi.

Masalah Prinsipil: Tidak Logis

Selama lebih dari satu dekade saya berkecimpung dalam dunia edukasi investasi di Bolasalju.com, ada satu masalah yang tetap ada dan selalu menjadi masalah dasar yang mengganggu kegiatan investasi. Masalah ini bersifat filosofis, yaitu prinsip investasi yang tidak logis.

Meskipun sudah banyak teori, pembahasan, pemaparan, data, analisis, dan statistik, tapi nyatanya kegiatan investasi di dunia riil banyak pengelola dana seperti gagap dan tidak menghasilkan perolehan yang memuaskan. Kami menduga salah satu penyebabnya adalah operasi investasi yang dijalankan dengan prinsip tidak logis.

Potensi Investasi Saham

Investasi saham dikenal punya potensi jangka panjang yang menarik. Sudah berkali-kali kami mengamati kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) 10 tahunan dari berbagai periode, mulai 2010, 2015/2016, dan terakhir 2022 lalu, kinerja 10 tahunan IHSG masih menghasilkan perolehan yang layak.

Misalnya dalam periode 2013-2022, seperti terlihat pada grafik di bawah, IHSG bisa menghasilkan kinerja akumulasi sebesar 58,7% selama 10 tahun. Setelah dikurangi akumulasi inflasi 10 tahun sebesar 49,99%, maka kinerja riil IHSG masih menghasilkan perolehan 8,71%.

Perolehan Riil IHSG Setelah Inflasi 10 Tahun
Perolehan Riil IHSG Setelah Inflasi 10 Tahun

Apalagi jika periode pengamatan diperpanjang hingga 20 tahunan, kinerja pasar saham yang diwakili IHSG makin menarik.

Ini terbukti dari pengamatan kami dalam periode 20 tahunan dari 2003-2022, IHSG memperoleh kinerja akumulasi sebesar 1.512,12%. Setelah dikurangi akumulasi inflasi 20 tahunan sebesar 194,88%, maka perolehan riil IHSG selama 20 tahunan akumulasinya tercapai sebesar 1.317,24%. Masih sangat-sangat layak, bukan?

Bahkan kalau pun kita mempertimbangkan awal mulai investasi dari tahun yang buruk seperti dalam periode 2008-2022, IHSG masih menghasilkan perolehan riil 51,25%.

Untuk lebih detailnya silakan juga pelajari artikel kami “IHSG Mengalahkan Inflasi! Data Tahun 2022

Sayangnya potensi IHSG yang layak tersebut tidak terefleksi dalam berbagai hasil investasi di dunia nyata.

Perolehan yang Tidak Logis

Kami memakai peralatan di situs Bareksa.com untuk memantau perolehan kinerja reksadana dalam jangka panjang, Anda bisa memakainya sendiri di sini. Silakan atur parameter: jenis reksadana saham atau campuran, lalu kolom return hanya terpilih 5 tahunan dan 10 tahunan.

Pilihan harus jangka panjang karena kita ingin fokus mengamati performa pengelola dana dalam melaksanakan fungsi mereka menjaga dana masyarakat. Performa jangka pendek seperti tahunan atau 3 tahunan harus diabaikan karena banyak reksadana yang berhasil dalam jangka pendek ternyata gagal menjaga stabilitas kinerja jangka panjangnya.

Performa Reksadana Saham/Campuran di Indonesia Selama 10 Tahun Terakhir
Performa Reksadana Saham/Campuran di Indonesia Selama 10 Tahun Terakhir (Sumber: Bareksa.com)

Dari 462 reksadana saham dan campuran yang ditawarkan di Indonesia, hanya ada 23 reksadana yang bisa mendapat perolehan di atas kinerja IHSG sebesar 58,7% untuk periode 10 tahun terakhir (2013-2022). Artinya hanya 4,97% reksadana yang bisa perform di atas IHSG.

Bagaimana Investor Ritel/Kecil?

Lalu bagaimana dengan perolehan dana di tingkat investor ritel atau kecil atau masyarakat umum?

Dari pengalaman berinteraksi dengan investor ritel baik yang pernah menjadi pelanggan riset atau edukasi di Bolasalju atau pun yang tidak, kami menjumpai memang ada masalah dalam prinsip berinvestasi yang dianut oleh masyarakat umum. Masih banyak investor kecil melaksanakan prinsip-prinsip investasi yang tidak logis.

Banyaknya berbagai kasus keuangan dan investasi, seperti: kasus di koperasi-koperasi (semacam Cipaganti, Indosurya, Intidana), gagal bayar investasi urun dana terbuka, berbagai kasus forex, opsi binari, dan banyak hal lainnya yang menelan dana masyarakat dalam skala triliunan rupiah, semua itu membuktikan ada masalah ketidaklogisan pemahaman investasi di masyarakat.

Lebih lanjut, menurut pendapat kami masalah ini bukan hanya milik investor kecil. Kami melihat bahwa prinsip investasi yang tidak logis ini juga dihinggapi oleh mereka yang bekerja di pengelolaan dana besar. Hal itu bisa dibuktikan dari pemaparan prinsip investasi tidak logis yang dikemukakan oleh pengelola dana dan mereka yang bekerja di institusi keuangan besar di berbagai media.

Salah satu contoh: ada yang menganut prinsip bahwa mereka harus menyelamatkan profit saat kinerja pasar saham sedang bagus. Menyelamatkan profit artinya menjual saham saat sahamnya sedang mengalami kenaikan temporer, misalnya 10%-20%. Argumennya, jika profit tidak diselamatkan, maka perolehan kinerja temporer akan terganggu oleh arus fluktuasi saham periode berikutnya. Prinsip ini awalnya terlihat logis, namun ia menjadi sangat tidak logis jika disandingkan dengan prinsip investasi jangka panjang yang punya potensi sangat besar. Potensi keuntungan jangka panjang ratusan persen jelas lebih baik daripada hanya 20%-an, bukan? Jika pengelola dana sudah keluar dari perusahaan-perusahaan superior tadi dengan keuntungan 10-20%, padahal potensi labanya bisa 200% dalam 10 tahunan, maka mereka tidak akan bisa memanen keuntungan jangka panjang masa-masa berikutnya.

Belajarlah Prinsip Investasi Logis

Untuk itulah kami selalu mengajak Anda untuk memahami investasi secara logis. Berikut ini adalah contoh prinsip dasar investasi yang logis.

Berinvestasi jika memang telah memahami potensi dan risikonya.

Jika masyarakat paham hal-hal penting akan potensi dan risikonya, niscaya mereka akan menghindari instrumen atau cara spekulasi yang bermasalah.

Kalau tidak paham, maka lebih baik menyimpan uang di rekening bank. Lebih baik tergerus inflasi daripada hilang tanpa tahu alasannya. Jika hanya mengincar potensi dan melalaikan risikonya, maka wajar cepat atau lambat bencana yang diperoleh.

Bahkan dalam investasi saham dan reksadana yang sudah teregulasi. Hindari saja jika tidak paham prinsip berinvestasinya yang logis.

Hal-hal Tidak Logis Lainnya

Bagi pelaku investasi serius, khususnya mereka yang sudah masuk ke instrumen keuangan yang dianggap berisiko tinggi seperti saham, ada banyak prinsip-prinsip tidak logis yang dianut pelaku investasi, seperti: hanya fokus harga, horizon jangka pendek, prinsip nilai-harga yang salah/ambigu, analisa-tapi-sentimen, dll.

Kami akan menjelaskan salah satunya, seperti prinsip hanya fokus mengejar kenaikan harga untuk mencari keuntungan. Mereka menganut prinsip akan berinvestasi jika harga sudah dalam tren naik. Mereka berharap bisa mengambil keuntungan cepat dari gelombang kenaikan harga saham. Harapan lainnya, setelah mendapat keuntungan, maka mereka akan mencari peluang dari saham-saham lainnya. Begitu terus diulang-ulang.

Sebelumnya, kita perlu menyegarkan pikiran kembali bahwa prinsip berinvestasi untuk cari keuntungan, bukan?

Jika memang kita berniat investasi, prinsip yang logis adalah membeli murah untuk dijual lebih mahal. Logikanya, Anda beli Rp500, lalu bisa dijual Rp1.000, apakah dalam setahun, 3 tahun, atau 10 tahun. Perolehan 100% untuk periode 10 tahunan memang tidak memuaskan, meski kami percaya CAGR 7,17% YoY untuk periode 10 tahunan masih cukup layak. Apalagi seandainya ada suatu kondisi bisa memperoleh perolehan 100% dalam periode lebih singkat, apakah setelah 5 tahun atau 7 tahun, maka prinsip investasi seperti ini sangat logis.

Dari berbagai pengamatan terhadap saham-saham yang punya profitabilitas bagus dengan pertumbuhan layak, kami bisa yakin bahwa perusahaan yang bisa tumbuh sekiranya 200% selama 10 tahun maka sahamnya akan mengikuti setara tingkat itu. Bagaimana kalau perusahaan bisa menumbuhkan labanya sebesar 500% atau 1000% selama periode 20 tahunan, maka logikanya sahamnya akan mengikuti.

Maka, mereka yang punya prinsip hanya fokus harga, yaitu ingin mengikuti gelombang kenaikan harga, sesungguhnya sangat tidak logis. Prinsip itu bisa logis kalau pelakunya bisa menebak dengan ketepatan akurasi 100% dari saham-saham yang akan naik dan mereka bisa masuk di saat yang tepat. Dengan fokus harga dan jangka pendek, probabilitas ketepatan menebak itu tentu saja hanya 50%. Bisa benar atau salah.

Faktor salah tebak akan menggerus perolehan. Apalagi jika dilakukan terakumulasi. Jika hanya berpikir faktor keuntungannya saja, maka itu tentu saja tidak logis. Kerugian dan keuntuangan harus dijumlahkan. Berapa keuntungan bersihnya? Apakah keuntungan bersih itu bisa mengalahkan inflasi?

Masih banyak lagi prinsip-prinsip investasi yang tidak logis. Berinvestasi seharusnya bisa sangat logis.


Diterbitkan: 23 Feb 2023Diperbarui: 30 Aug 2023